Sudut Sejarah

Mbah Singodrono: Prajurit Diponegoro di Lereng Arjuno

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati

Perang Jawa (1825 – 1830), adalah konfrontasi terlama, dan genjatan senjata yang cukup menguras tenaga dan biaya Pemerintah Hindia Belanda. Ini adalah perlawanan paling heroik dalam sejarah Jawa. Perang ini diakhiri dengan penangkapan Pangeran Diponegoro di rumah dinas Residen Kedu Valck, yang terletak di Magelang. Pangeran Diponegoro diundang oleh utusan Jenderal De Kock untuk mengadakan perundingan dan negosiasi. Namun, untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak, takdir harus berjalan—Pangeran Diponegoro ditangkap oleh pasukan Jenderal De Kock.

Selanjutnya Sang Pangeran di tahan di kediaman Residen Semarang, tak lama kemudian dibawa ke Batavia sebelum pada akhirnya kirim ke Manado. Bersama istri keenamnya, RA. Retnaningsih, Tumenggung Dipasena dan istri serta sejumlah pengikut setia seperti Raden Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna—Pangeran Diponegoro diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Manado pada 30 April 1830. Tahun 1834, Sang Pangeran dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar hingga ia tutup usia pada tanggal 8 Januari 1855.

Jauh sebelum peristiwa nahas itu terjadi, Pangeran Diponegoro telah mendapat firasat—bahwa cepat atau lambat, pasukannya akan menemui kekalahan. Terlebih setelah tertangkapnya Kiai Mojo, salah satu penasihat spiritual Sang Pangeran pada 12 Oktober 1828. Dan menyusul kemudian senopati utama, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo dan pasukannya yang tertangkap pada 16 Oktober 1828. Serta istri sang Pangeran, yakni R.A Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829.

Pangeran Diponegoro segera menghimpun seluruh prajurit dan pengikutnya yang tersisa. Ia berpesan, bahwa kelak, apabila ia kalah dalam peperangan melawan Belanda, semua prajurit dan pengikutnya agar tetap melanjutkan bara api perjuangan. Tidak dengan mengangkat senjata. Melainkan perjuangan menegakkan dakwah Islam dengan membangun pesantren, masjid, padepokan atau membuka pemukiman baru. Pangeran Diponegoro memberikan biji sawo kepada seluruh pengikutnya untuk ditanam di daerah yang mereka diami. Sawo adalah lambang ‘merapatkan barisan’. Dinukil dari hadits Nabi yang berbunyi, “sawwu sufufakum fa inna taswiyatas sufufi mintamamis salat”.

diskon

Pasca Pangeran Diponegoro ditangkap, sejumlah pengikutnya yang masih tersisa menyebar ke beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka menyebar ke pelosok-pelosok daerah yang notabene jauh dari hegemoni dan pengaruh Pemerintah Hindia-Belanda. Diantara mereka ada yang menjadi kiai serta mendirikan pesantren dan masjid. Ada juga yang ‘babat alas’ (membuka pemukiman baru). Atau mendirikan padepokan, menjadi sesepuh, mengajarkan berbagai keterampilan bertani dan olah kanuragan kepada masyarakat. Salah satu dari pengikut Pangeran Diponegoro bernama Mbah Singodrono, Kepala Desa Sumbergondo yang pertama.

Mbah Singodrono berasal dari Yogyakarta. Dari daerah mana tepatnya, tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Setelah Perang Jawa usai, Ia bersama istri memutuskan untuk hijrah ke Desa Sumbergondo, sebuah desa yang terletak di lereng selatan Gunung Arjuno. Secara administratif, desa ini termasuk bagian dari Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Desa ini adalah desa yang tergolong kuno. Setidaknya telah berdiri pada zaman Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang. Terbukti dengan ditemukannya beberapa situs arkeologi berupa arca Durga Mahisasuramardhini, lingga, yoni dan arca lembu nandini. Dilihat dari penemuan beberapa artefak tersebut, mengindikasikan bahwa masyarakat Desa Sumbergondo pada masa lampau merupakan penganut Sekte Bhairawa Tantra, sebuah ajaran sikretisme, perpaduan antara Siwaisme, Budhisme dan Animisme lokal. Aliran ini berkembang dengan pesat menjelang runtuhnya kekuasaan Majapahit.

Kata desa, pada era Kerajaan Medang hingga masa akhir Majapahit, dikenal dengan nama ‘Wanua’. Sebuah Wanua dipimpin oleh seorang ‘Thani’ (sebutan Kepala Desa tempo dulu). Wanua Sumbergondo ‘konon’ didirikan oleh Raden Arya Panunggal beserta istri dan anaknya, Dewi Ningrum dan Joko Bundu. Karena berkedudukan sebagai Thani (kepala desa/lurah), masyarakat sekitar memanggilnya dengan sebutan Mbah Mertani (Pak Lurah). Hingga sekarang, warga Desa Sumbergondo lebih akrab menyebut foundhing fathers desanya dengan nama Mbah Mertani. Selanjutnya Mbah Mertani dan Joko Bundu di darmakan disebuah punden yang dikenal dengan nama punden Mbah Mertani.

Pasca kedatangan Mbah Singodrono di Sumbergondo, ia oleh masyarakat setempat didaulat sebagai kepala desa. Secara administratif, ia adalah kepala desa pertama. Walaupun sejak dibuka oleh Raden Arya Panunggal, terdapat para Thani yang memimpin Wanua (desa) Sumbergondo. Mbah Singodrono menjabat sebagai kepala desa dalam kurun 10 tahun. Terhitung semenjak tahun 1830 hingga 1840. Pasca Mbah Singodrono lengser keprabon sebagai kepala desa, ia digantikan oleh putra pertamanya— Mangundrono.

Selama hidupnya, Mbah Singodrono dikaruniai dua orang putra yakni, Mangundrono dan Setrodrono. Mbah Singodrono juga mendirikan masjid berikut menanam pohon sawo sebagai markah (pertanda) bahwa ia adalah santri Pangeran Diponegoro. Ia membangun masjid yang terletak disebelah timur Masjid Darussalam sekarang. Bangunan masjid itu kini telah beralih fungsi menjadi kebun apel milik salah satu warga. Dahulu, masjid yang didirikan oleh Mbah Singodrono lebih dikenal dengan nama Masjid Mbah Kaji Kasan. Adapun biji sawo pemberian Pangeran Diponegoro, ia tanam di sebelah barat laut masjid. Seiring berjalannya waktu, pohon sawo tersebut ditebang dan menjadi bangunan rumah salah satu warga.

Mbah Singodrono adalah sosok pribadi yang keras, tegas, jujur, dan berwibawa. Sebagai seorang kepala desa tempo dulu, ia mempunyai segudang pengetahuan lahir maupun batin yang terbilang mumpuni. Menurut beberapa orang yang pernah bermimpi bertemu dengannya, Mbah Singodrono mempunyai ciri-ciri fisik, berambut panjang, berkumis, bercambang lebat serta berpakaian adat Jawa. Dari potret tersebut, dapat di identifikasikan bahwa Mbah Singodrono adalah sosok sesepuh yang dituakan sekaligus mempunyai haibah yang tinggi di mata masyarakat. Kala tutup usia, Mbah Singodrono dikebumikan di pemakaman Genting, berdampingan dengan istrinya. ‘Konon’, menurut cerita warga setempat, dulu apabila seekor burung melintas di atas makam, burung itu akan terjatuh dengan sendirinya.

Dari anekdot semacam ini, dapat diinterpretasikan bahwa makam Mbah Singodrono mempunyai tuah dan disakralkan, setidaknya menjadi tempat ritual dalam tradisi bersih desa. Kini, diatas makam Mbah Singodrono telah berdiri sebuah cungkup yang cukup bagus. Tak jauh dari area makam Mbah Singodrono, sekitar lima depa, dimakamkan pula anak dan sejumlah keturunannya. Kini keturunan Mbah Singodrono tersebar di Desa Sumbergondo dan sekitarnya, terutama sekali di Dusun Tegalsari. Sebagai pengikut Pangeran Diponegoro, pastinya Mbah Singodrono adalah penganut dan pengamal ajaran Thoriqoh Sattariyah dan Naqsyabandiyah. Namun, kebanyakan anak cucunya lebih tertarik terhadap ajaran Sumarah yang dibawa Raden Ngabehi Soekinohartono dari Wirobrajan Yogyakarta. Dinamika pemikiran yang bisa menimpa siapapun juga, termasuk anda.

“the greatness of a person is not because of heredity, but because of hard work and lofty ideals”

Alfi Saifullah

Warga Nahdliyin yang produktif menulis artikel, esai, maupun kolom. Telah menulis beberapa buku, diantaranya; Raden Panji Iskandar Sulaiman; jejak-jejak perjuangan santri Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari dan Mbah Cholil Baureno: Kepahlawanan, Khidmah, Keteladanan. Sekarang sebagai Pimpinan Redaksi Wathan.id.

Related Articles

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button